UNDANG - UNDANG TI
KETERBATASAN UU TELEKOMUNIKASI DALAM MENGATUR PENGGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Menimbang:
1. Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945;
2. Bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti
strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar
kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa;
3. Bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar
dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi;
4. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan
mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi
tersebut perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan
telekomunikasi nasional;
5. Bahwa sehubungan deingan hal-hal tersebut di atas, maka
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentangTelekomunikasi dipandang tidak sesuai
lagi, sehingga perlu diganti;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN PAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan
atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat,
tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau
sistem elektromagnetik lainnya;
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang
digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat
telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu
yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan
dan memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk
memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan
telekomunikasi;
8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi,
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha
swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi
pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi
pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan
pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
15. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
16. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan
telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,
adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan
pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan,
serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
1. Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
2. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan,
pengawasan, dan pengendalian.
3. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat 2,
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan
pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
1. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peranserta
masyarakat.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1
berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat
mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan
kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
3. Pelaksanaan peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud
tersebut.
4. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat 3 keanggotaannya
terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi
profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi
pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi. dan masyarakat intelektual di bidang
telekomunikasi.
5. Ketentuan mengenai tata cara peranserta masyarakat dan
pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi
telekomunikasiIndonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
1. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
1. Penyeienggaraan jaringan telekomunikasi;
2. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
3. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
2. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
2. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
3. Dilakukan secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan;
4. Peranserta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1
huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
3. Badan usaha swasta; atau
4. Koperasi.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat 1 huruf c dapat dilakukan oleh:
1. Perseorangan;
2, Instansi pemerintah;
3. Badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
3. Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat 1 dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2. Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat 1 dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau
menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3. Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat 2 dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
1. Keperluan sendiri;
2. Keperluan pertahanan keamanan negara;
3. Keperluan penyiaran.
4. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 huruf a terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk
keperluan:
. perseorangan;
1. Instansi pemerintah;
2. Dinas khusus;
3. Badan hukum.
4. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
lzin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan dengan
memperhatikan:
tata cara yang sederhana;
proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
penyelesaian dalam waktu yang singkat.
Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyetenggara dan Masyarakat
Pasal 12
Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau
dikuasai Pemerintah.
Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku pula terhadap sungai, danau, atau
laut, baik permukaan maupun dasar.
Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setelah
mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung, jawab dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau
melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan,
pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat
persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk
menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara
telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan
berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau
kelalaiannya.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 16
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan
universal.
Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau
kompensasi lain.
Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan
prinsip:
perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
semua pengguna;
peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi;
dan
pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana
dan prasarana.
Pasal 18
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam
secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna
telekomunikasi.
Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikannya.
Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin
kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan
kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan
prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang
menyangkut:
keamanan negara;
keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
bencana alam;
marabahaya; dan atau
wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan
usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum,
kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak
sah, atau memanipulasi:
akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi
ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan
sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk
mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dan ayat 2 dilakukan berdasarkan prinsip:
pemanfaatan sumber daya secara efisien;
keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
peningkatan mutu pelayanan; dan
persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak
dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan.
Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
T a r i f
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan
atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan
atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat 3 huruf a dan huruf b dilarang disambungkan ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat 3 huruf c dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara
telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal 30
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah
tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat 3 huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf a dan huruf
b setelah mendapat izin Menteri.
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap
dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi.
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 3
huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara
telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan
telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara
telekomunikasi lainnya.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat,
dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia
wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 33
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib
mendapatkan izin Pemerintah.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus
sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya
penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan
lebar pita frekuensi.
Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan
orbit satelit.
Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal
berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang
dioperasikan di wilayah perairan Indonesia tidak diwajibkan memenuhi
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal
berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar
peruntukannya, kecuali.
untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia
dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan
keamanan lalu lintas pelayaran; atau
disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan
oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang
penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan
telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara
sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat
udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya,
kecuali:
untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia
dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan
keselamatan lalu lintas penerbangan; atau
disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan
oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang
penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan
telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang
menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia
dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi.
Pasal 39
Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan
perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan
untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas
informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas
telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi
yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi, dan dapat melakukan perekaman
informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi
melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang
diselenggarakannya.
Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang
diperlukan atas:
permintaan tertulis laksa Agung dan atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.
Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian
rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat 2 tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
P E N Y I D I K A N
Pasal 44
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
1 berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi
atau tersangka;
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi
yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana
di bidang telekomunikasi;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat 1, Pasal 18
ayat 2, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat 2, Pasal 26 ayat 1, Pasal 29 ayat 1,
Pasal 29 ayat 2, Pasal 33 ayat 1, Pasal 33 ayat 2, Pasal 34 ayat 1, atau Pasal
34 ayat 2 dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
berupa pencabutan izin.
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
danlatau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rpl00.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 atau Pasal 29 ayat 2 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan,
atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia
yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat 1 atau Pasal 33 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1
mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00,- (dua
ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, atau
Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56,
dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentangTelekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan
dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini
dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.
Pasal 62
Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang
telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu
tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku.
Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan
Penyelenggara.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentangTelekomunikasi (Lembaran Negara
Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3391) masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3
Tahun 1989 tentangTelekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah
tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
PERATURAN DAN REGULASI UNTUK CYBERLAW
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia
maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw dibutuhkan karena
dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”.
Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu
ini.
Semakin banyak munculnya kasus “CyberCrime” di Indonesia,
seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data
orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan
perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Maka dibuatlah
sebuah regulasi konten, yaitu :
Keamanan nasional : instruksi pada pembuatan bom, produksi
obat/racun tidak sah, aktivitas teroris.
Protection of minors (Perlindungan pelengkap) : abusive
forms of marketing, violence, pornography
Protection of human dignity(Perlindungan martabat manusia) :
hasutan kebencian rasial, diskriminasi rasial.
Keamanan ekonomi : penipuan, instructions on pirating credit
cards, scam, cybercrime.
Keamanan informasi : Cybercrime, Phising
Protection of Privacy
Protection of Reputation
Intellectual Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk
keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi elektronis
yang telah disyahkan pada tahun 2008. Undang-undang tersebut dapat didownload
dari website www.ri.go.id dan dapat langsung membaca bab VII yang mengatur
tentang tindakan yang dilarang.
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring
berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku
karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku
saat ini masih belum lengkap.
Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal
yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasus carding
misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal
363 soal pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu
kredit orang lain.
Berikut ini merupakan perbandingan Cyberlaw di beberapa
negara.
1. Cyberlaw di Indonesia
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE)
atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan
hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam
hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet
dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya
bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah
dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR
pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang
mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi
yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada
Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal 28: Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian
dan Permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Tentang UU ITE
UU ITE (Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,
yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah
hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan
yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan
informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi
kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di
internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya
bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun
oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi
sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada
penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian
menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU
PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi
Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan
disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama
pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Keterbatasan UU Telekomunikasi dalam Mengatur Penggunaan
Teknologi Informasi
Salah satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan
teknologi informasi yaitu UU N0.36. Isi dari UU No.36 adalah apa arti dari
telekomunikasi, asas dan tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan,
perizinan, pengamanan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana dari
pengguanaan telekomunikasi, yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin
oleh DPR RI.
Pada UU No.36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu
tujuan yang berisikan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,
memperlancar kegiatan pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Dalam
pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa
pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat
pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara
pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna
teknologi informasi.
Teknologi informasi sangatlah berpengaruh besar untuk negara
kita,di lihat dari segi kebudayaan , kita bisa memperkenalkan budaya – budaya
yang kita miliki dengan bebas kepada negara-negara luar untuk menarik minat
para turis asing. kalau dilihat dari segi bisnis keuntungannya adalah kita
dengan bebas dan leluasa memasarkan bisnis yang kita jalankan dengan waktu yang
singkat. Jadi menurut saya UU ini belum sepenuhnya dapat mengatur penggunaan
teknologi informasi karena kebebasan yang dimiliki dari setiap individu yang
tidak bida dikontrol dan juga tidak bisa dilihat dari segi negatif”y saja
banyak juga segi positif dari penggunaan teknologi informasi seperti dapat”y
memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat
para turis asing.
Pasal 32: Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi
Rahasia.
Pasal 33: Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS).
Pasal 35: Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising).
Pelanggaran UU ITE ini akan dikenakan denda 1 Milliar
rupiah. Di Indonesia, masalah tentang perlindungan
konsumen,privasi,cybercrime,muatan online,digital copyright,penggunaan nama
domain dan kontrak elektronik sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Namun, masalah spam dan online dispute resolution belum mendapat tanggapan dari
pemerintah sehingga belum ada rancangannya.
Kesimpulan :
Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk
keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi
elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008.
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring
berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku
karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku
saat ini masih belum lengkap.
Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal
yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime.
PERATURAN DAN REGULASI UNTUK CYBERLAW
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia
maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw dibutuhkan
karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”.
Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu
ini.
Semakin banyak munculnya kasus “CyberCrime” di Indonesia,
seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data
orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan
perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Maka dibuatlah
sebuah regulasi konten, yaitu :
- Keamanan
nasional : instruksi pada pembuatan bom, produksi obat/racun tidak sah,
aktivitas teroris.
- Protection
of minors (Perlindungan pelengkap) : abusive forms of
marketing, violence, pornography
- Protection
of human dignity(Perlindungan martabat manusia) : hasutan kebencian
rasial, diskriminasi rasial.
- Keamanan
ekonomi : penipuan, instructions on pirating credit cards, scam,
cybercrime.
- Keamanan
informasi : Cybercrime, Phising
- Protection
of Privacy
- Protection
of Reputation
- Intellectual
Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk
keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi
elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008. Undang-undang tersebut dapat
didownload dari website www.ri.go.id dan
dapat langsung membaca bab VII yang mengatur tentang tindakan yang dilarang.
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring
berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku
karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku
saat ini masih belum lengkap.
Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal
yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasus carding misalnya,
kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal
pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit
orang lain.
Berikut ini merupakan perbandingan Cyberlaw di
beberapa negara.
1. Cyberlaw di Indonesia
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebutcyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebutcyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
- Pasal
27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
- Pasal
28: Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan.
- Pasal
29: Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti.
- Pasal
30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
- Pasal
31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Tentang UU ITE
UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan. Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan. Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Keterbatasan UU Telekomunikasi dalam Mengatur Penggunaan
Teknologi Informasi
Salah satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi informasi yaitu UU N0.36. Isi dari UU No.36 adalah apa arti dari telekomunikasi, asas dan tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, pengamanan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana dari pengguanaan telekomunikasi, yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPR RI.
Pada UU No.36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu tujuan yang berisikan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Teknologi informasi sangatlah berpengaruh besar untuk negara kita,di lihat dari segi kebudayaan , kita bisa memperkenalkan budaya – budaya yang kita miliki dengan bebas kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing. kalau dilihat dari segi bisnis keuntungannya adalah kita dengan bebas dan leluasa memasarkan bisnis yang kita jalankan dengan waktu yang singkat. Jadi menurut saya UU ini belum sepenuhnya dapat mengatur penggunaan teknologi informasi karena kebebasan yang dimiliki dari setiap individu yang tidak bida dikontrol dan juga tidak bisa dilihat dari segi negatif”y saja banyak juga segi positif dari penggunaan teknologi informasi seperti dapat”y memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing.
Salah satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi informasi yaitu UU N0.36. Isi dari UU No.36 adalah apa arti dari telekomunikasi, asas dan tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, pengamanan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana dari pengguanaan telekomunikasi, yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPR RI.
Pada UU No.36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu tujuan yang berisikan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Teknologi informasi sangatlah berpengaruh besar untuk negara kita,di lihat dari segi kebudayaan , kita bisa memperkenalkan budaya – budaya yang kita miliki dengan bebas kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing. kalau dilihat dari segi bisnis keuntungannya adalah kita dengan bebas dan leluasa memasarkan bisnis yang kita jalankan dengan waktu yang singkat. Jadi menurut saya UU ini belum sepenuhnya dapat mengatur penggunaan teknologi informasi karena kebebasan yang dimiliki dari setiap individu yang tidak bida dikontrol dan juga tidak bisa dilihat dari segi negatif”y saja banyak juga segi positif dari penggunaan teknologi informasi seperti dapat”y memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing.
- Pasal
32: Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia.
- Pasal
33: Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS).
- Pasal
35: Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising).
Pelanggaran UU ITE ini akan dikenakan denda 1 Milliar
rupiah. Di Indonesia, masalah tentang perlindungan
konsumen,privasi,cybercrime,muatan online,digital copyright,penggunaan nama
domain dan kontrak elektronik sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Namun, masalah spam dan online dispute resolution belum
mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga belum ada rancangannya.
Kesimpulan :
- Sebagai
orang yang sering memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari
sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi elektronis yang telah
disyahkan pada tahun 2008.
- Permasalahan
yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer
dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana
yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum
lengkap.
- Hingga
saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan
untuk menjerat penjahat cybercrime.
No comments:
Post a Comment